islamic school.com

Rabu, 31 Maret 2010

PERBANDINGAN HUKUM ANTAR KELUARGA MUSLIM

Perbandingan Hukum perkawinan Islam antar negara
Urgensi IJS untuk Studi islam
1. Kebutuhan mengetahuai aspek-aspek sosio-yuridis Hukum Perkawinan Islam dalam kerangka inter koneksitas dan integrasi keilmuan
2. Kebutuhan mengetahui perkembangan Hukum Perkawinan Islam diberbagai negara
KOMPETENSI DASAR
1. Pemahaman mahasiswa terhadap aspek-aspek sosio-yuridis Hukum Perkawinan Islam
2. Permahaman mahasiswa terhadap persamaan dan perbedaan Hukum Perkawinan Islam di berbagai negar
MATERI PERKULIAHAN
 Aspek-Aspek sosio yuridis Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
 Aspek-aspek persamaan dan perbedaan Hukum Perkawinan Islam di negara-negara Islam
Aspek Sosio-Yuridis Hukum Perkawinan
 Aspek-aspek sosio-yuridis hukum perkawinan
 Dasar-dasar Pola Relasi dalam Hukum keluarga
 Aspek Perlindungan Anak dalam Hukum Keluarga (UU Perlindungan Anak 2003)
 Aspek-Aspek KDRT terkait dengan Hukum Keluarga
 Kebutuhan amandemen Hukum Perkawinan di Indonesia
REFERENSI
 Seminar Nasional Amandemen UU Perkawinan No 1/1974, PSW-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan di Berbagai Agama.



KELUARGA SEBAGAI STUKTUR SOSIAL

Pengertian Keluarga
• Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat
• Horton & Hunt (1987)
– Suatu kelompok yang memiliki nenek moyang sama
– Suatu kelompok kekerabatan sedarah & perkawinan
– Pasangan nikah dengan/tanpa anak
– Duda/janda dengan anak-anak.
• Abu Zahrah
• Al-Qur’an: Ahli bait (Al-Ahzab: 33):
– Terbatas (nuclear family): keluarga inti Rasulullah
– Luas (extended family): mencakup alur pembagian harta waris
• Perkawinan: merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang dibangun berdasarkan aqad antara seorang laki laki dan perempuan: Aqad nikah: mitsaqan ghalidha
Bentuk-bentuk Perkawinan
• Monogami:
– Perkawinan seorang laki-laki dan perempuan dalam kurun waktu tertentu. Perkawinan yang paling lazim dilaksanakan
• Poligini: Perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan dalam satu waktu: Islam, Hindu, Agama di Pasifik dan afrika
• Poliandri: Perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang perempuan dengan lebih dari satu laki-laki: Tibet, Melanesia dan Afrika
• Conogami: Perkawinan Kelompok yang terdiri dari dua atau lebih laki-laki dgn dua atau lebih perempuan.
Fungsi Umum Perkawinan
• Perkawinan yang diharapkan dapat menjaga ketahanan moral, akhlaq Karimah dalam masyarakat
• Menjaga kelangsungan kelompok (ummah)
Bentuk Keluarga
Canjugal Family : keluarga inti
Keluarga inti yang terdidi dari suami, isteri, anak-anak, kandung, tiri dan angkat yang belum menikah.
Consnguine Family : Keluarga
Keluarga dengan hubungan sedarah/ikatan ketunan/kerabat dari sejumlah keluarga

• Bentuk perkawinan:
– Monogami
– Poligini/poligami
• Tempat Tinggal
– Patrilokal
– Matrilokal
• Garis keturunan
• Matrilinial, patrilinial dan bilateral
• Pengaruh
– Matriarkal & Patriarkal
Fungsi Keluarga:
• Fungsi Biologis: Al-Tahrim: 6
• Fungsi Religius:lukman: 13
• Fungsi reproduktif: Annisa: 1
• Fungsi Protektif-Khoirukum li ahlikum
• Fungsi Edukatif/sosialisais: Hadist: kelahiran suci
• Fungsi ekonomis:Lukman
• Fungsi Rekreatif: Ar-Rum: 21
Keluarga & Sosialisasi Peran
• Keluarga konvensional/tradisional
– Hubungan hirarkhis & paternalistik
– Peran gender yang stereotipi & biner
– Partisipasi publik & sosial yang terpisah
– Penghasilan keluarga tunggal
• Keluarga Modern
– Hubungan yang setara dan “demokratis”
– Peran gender yang komplementer
– Partisipasi publik & sosial yang seimbang
– Penghasilan keluarga ganda sbg keharusan

perbandng hk

PERBANDINGAN HUKUM

Sejarah Perkembangan hukum
Perkembangan studi Perbandingan sistem hukum (comparative legal studies) merupakan ilmu yang sama tuanya dengan disiplin ilmu hukum itu sendiri.
perbandingan sistem hukum pada abad ke-19 baru nampak sebagai cabang khusus dari disiplin ilmu hukum.
Pendalaman secara intense terhadap disiplin ilmu hukum berawal dari Eropa yang dipelopori olrh:
1. Montesquieu (Prancis)
2. Mansfield (Inggris)
3. Von Feuerbach (Jerman)
4. Thibaut (Jerman)
5. Gans (Jerman)
6. Secara kelembagaan muncul beberapa institusi yang concern dalam pengembngan komperative legal study:
1. Institute Perbandingan Hukum di College de France (1832)
2. Institute Perbandingan Hukum di University of Paris (1846)
Sistem perbandingan Hukum di Indonesia secara makro belum populer
 Menurut Levy Ullman:

“Perbandingan hukum telah didefinisikan sebagai cabang dari ilmu hukum di mana tujuannya yaitu untuk membentuk hubungan erat yang tersusun secara sistematis antara lembaga-lembaga hukum dari berbagai negara.”
 Jolious Stone berpendapat bahwa:
“Perbandingan hukum mencoba untuk melukiskan apa yang sama dan apa yang berbeda dalam sistem hukum atau untuk mencari inti kesamaan dari seluruh sistem hukum’’.
 Rheinstein menyatakan bahwa:
“Istilah perbandingan hukum sebaiknya merujuk pada pemaparan berbagai hal mengenai cara memperlakukakan hukum secara ilmiah dengan cara pengklasifikasian secara khusus atau deskripsi analitik dari tekni penggunaan satu atau kebih sistem hukum positif.”
Sifat Dasar
Perbandingan hukum, dalam pengertian yang paling sederhana, merupakan suatu metode studi dan penelitian di mana hukum-hukum dan lembaga-lembaga hukum dari dua negara atau lebih diperbandingkan. Metode ini menaruh perhatian pada analisa kandungan dari sistem hukum yang berbeda dalam rangka menemukan solusi guna menjawab berbagai masalah hukum. Hal ini juga merupakan teknik dan kemahiran khusus di mana beberapa hal tertentu dapat diperoleh dengan mengamati hukum-hukum dari berbagai bangsa dengan cara memperbandingkan satu dengan lainnya.

Perbandingan hukum bukanlah suatu subjek persoalan, melainkan suatu metode studi. Hal tersebut merupakan proses mempelajari hukum-hukum di luar negeri dengan membandingkannya dengan hukum-hukum local. Tugas utamanya adalah untuk mengetahui dengan pasti perbedaan dan persamaan di dalam peraturan hukum, prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga terkait pada dua negara atau lebih dengan cara pandang untuk menyediakan solusi bagi permasalahan setempat. Hal ini juga merupakan disiplin untuk memelihara “social order” berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang hidup di negara-negara lain.
Nilai, Tujuan dan Kelemahan dari Perbandingan Hukum
Secara garis besar kegunaan, beberapa nilai dan tujuan dari perbandingan hukum adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman akan hukum yang lebih baik;
2. Membantu dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum lainnya;
3. Membantu pembentukan hukum dalam sistem peradilan;
4. Membantu para pengacara untuk berpraktik;
5. berguna dalam hal hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain.
SISTEM HUKUM BARAT
 Ajaran hukum kodrat
 Aristoteles :
1.Partikular dan positif
2.Alamiah (khusus, tertulis)& keadilan (konvensional)
Keadilan politik :
1.Alamiah
2.legal
 Cicero
hkm kodrat mengutamakan moral (hidup sesuai dgn hukum tertulis & kodrat manusia)
Manusia mempyai hkm yg bersm Tuhan
 Thomas Aquinas
1. hukum abadi (lex aeterna)
2. hukum kodrat (lex naturalis)
3. hukum positif (lex hummna)

 Grotius
naturalist rasionalist adl tuntutan akal budi yg tepat, yg menunjukkan bahwa suatu tindakan , sejauh sesuai /tdk ss dg hakikat rasional, mpy kualitas pendasaran moral.
 John Locke
Perintah dan kehendak pembuat hukum yg maha kuasa, Tuhan.Mengikat mausia krn mengikat Tuhan
Konsep hak milik
Manusia hidup secara kodrati jd harus didukung oleh hak pribadi
Gratius berpendapat bahwa hak pribadi sebagai hak eksklusif (mpy hak sedemikian rupa, mempertahankan & org lain tidak boleh meminta hak yg sama atas barang tersebut);
Selain itu bahwa setiap orang wajib melindungi warga lainnya baik keseluruhan atau individu,dan untuk menyumbangkan scr pribadi hal2 yg perlu utk org lain & yg prlu utk masyrkt (imperfect rights)
Melihat hak sempurna & tdk sempurna , keadilan itu ada 2 :\
 Ekspletif
keadilan yang sebenarnya
 Atributif
Keadaan ekonomi yg tdk termasuk keadaan sebenarnya. Tidak bs dipaksakan & hy diserahkan pd tiap org & org lain tdk bs menuntut individu lainnya
Hukum kodrat dan kolonialisme lainnya
 John Locke
Hukum Kodrat telah memberikan justifikasi terhadap kolonialisme.
Kolonalisme merupakan perampasan thdp hukum yg mereka yakini.
Suatu yg lepas dari pengagum hukum kodrat bahwa barat telah meninggalkan hukum kodrat setelah lahirnya positivisme.
Hubungan hukum kodrat dgn hukum positif
 Kelemahan hukum kodrat:
 Kekaburan paham kodrat
 Dualisme metodis
 Masalah kepastian
 Untuk mengatasi kelemahan itu hukum positif mengambil peranan sebagai pengalihan , kodifikasi/positifasi h kodrat untuk masyarakat manusia.dgn tujuan agar dgn h positif yg tercermin d didasarkan pd h kodrat, masyarakat mns dpt diatur d brfungsi scr harmonis
Alasan knp dgunakan h positif:
 Kelemahan dlm sistem h kodrat
 Tdk adanya definisi yg jelas h kodrat itu sdr
 Kepastian hukum kodrat lemah,masyrkt sipil perlu kepastian hukum
 H k serangkaian norma abstrak
 H. k tdk mberikan ketentuan praktis
 Ketaatan pd h k lbh trgantung pd nurani individu
Aliran Positivisme
 Terminologi:
 Legal Positivisme sbg metode
cr mempelajari h sbg fakta yg kompleks, fenomena/dt sosial bukan sbg sistem nilai.
 Legal Positivisme sbg teori
teori AP berkembang pd era kodifikasi smp abad ke-19.
 Legal Positivisme sbg Ideologi
merupakan ide bahwa h negara ditaati scr absolut yg disimpulkan ke dlm suatu the law is the law.
 Bahwa aliran positivisme mrpkn suatu aliran yg melakukan kritik kelemahan2 teori h kodrat. Dalam aliran positivisme yg berlainan pendapat 1 sm lain.
 Dlm perkembangan ada 2 aliran positivisme:hard positivism & soft positivism.
 Hard positivism: there is only the positive law: the are no objective, universal facts about morality, about what law ought to be like (Hand Kelsen).
 Soft positivism: in addition to positive law, objective morals facts do exist----untilatarian----non untilatarian
Barat & era kolonialisme
 Benang merah antara Barat dan kapitalisme dalam persepektif hukum dpt di lihat dr instrumen2 hukum yg ada bagaimana pemahaman esensial terhadap eksisitensi materi yg tdk jarang mengesampingkan niai2 moral & kemanusiaan.
 Bukti valid & tdk terbantahkan oleh nurani manusia yg srg dikampenyekan Barat dgn mgnkan istilah human rights yt: penjajahan dg perampasan hak hidup, hak ekonomi komunitas2 ngr jajahan.
 Perusahaan Inggris British of East India, VOC Belanda melakukan eksplotasi ekonomi sosial berabad-abad. Namun stlh era dekolonialisasi Barat menamai diri sbg ngr civilized nations bgs yg beradab seolah tdk pernah melakukan kejahatan kejahtn kemnsiaan dm kepentingan kapitalisme, ekonomi, serta sekularisme.
 Penjajahan yg dilakukan o/ org Eropa, mnrt sejarahwan Grewe , jg mrpkan era penyebaran sistem hukum Barat scr Internasional dibagi dlm 3 periode yt:
1. Era Spanyol (Spanish age 1494-1648)
2. Era Prancis (Frenc Age 1648-1815)
3. EraInggris (British Age 1815-1919)
 Diantara ngr jajahan trsbt terjadi transaksi & sengketa perebutan wilayah jajahan & wilayah2 taklukan itu dpt diperjualbelikan, tukar menukar bahkan smp ada sengketa antar 3 ngr merebutkan suatu teritori.
Contoh:
Penjualan lousiana o/ Prancis kpd AS seharga 60 Juta Franc, Inggris menyerahkan kepulauan Heligoland kpd Jerman & ditukar dgn Zanzibar pd tahun 1890, & penyerahan swan Islands pd th 1971 o/ AS kpd Honduras.
Senketa kepulauan Palmas”Palmas Island case” ketika Spanyol melepaskan kepulauan Filipina kpd AS melalui Traktat Paris th 1898. Dlm Traktat dijelaskan kepulauan Palmas sebagagai bagian dr kepulaua Filipina. Namun ketika AS mau mengambil alih kepemilikan, ternyata tersebut berada di bawah kontrol Belanda. Spanyol mengaku bahwa telah menguasai wilayah trsbt sjk th 1898. Namun pd kenyataan Belanda telah mjd administrator yg efektif , mk Spanyol kehilangn title kepemilikan termasuk AS atas kepulauan Palmas. Kepulauan ini diselesaikan melalui arbitrator Max Huber.
 Berdasar 3 periode tsb hampir dapat dipastikan bahwa sistem hukum yg dibawa & diterapkan o/ ke3 penjajah tersebut memiliki tradisi hukum maupu cammon law.
Pemberlakuan ke2 sistem hukum tersebut di berbagai jajahan, sprt Asian, Amerika, Amerika Selatan & afrika tdk mengalami perlawandean yg berarti dr sistem2 hukum lokal. Di samping dominasi & determinasi yg tak tertandingi oleh sistem hukum lain, Barat memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi.
Mencermati konstinuitas dominasi Barat, ternyata tdk terhenti pd era dekolonialisasi, spirit kapitalisme msh terus dijadikan sat2nya konsep yg ampuh u/ ttp leading scr ekonomi yg otomatis jg dlm percaturan politik, penetrasi budaya & ideologi. Hal ini terlihat imbalance dan inequality antara Barat dg keseluruhan kesejahteraan pddk dunia.
Barat & Resolusi Industri
 Resolusi Industri pertama (1760-1840)ris
Inggris, Amerika, Prancis, Jerman.
pertanian meningkat dg mesin uap , batu bara.
 Resolusi Industri kedua (1840-1950)
amerika, inggris, jerman, prancis,belanda
Telekomunikasi,transportasi(telegram, rel kereta, telepon, mobil,truk,d pesawat terbang.
 Resolusi Industri ketig (1950-sekarang)
amerika, jepang, eropa.
The rise of the informasi economy/ post industrial society.
Sistem Hukum Barat sbg hukum Made Law
 H. Barat mendapat tantangan & kritik keras dr kaum buruh cz hkm berpihak pd kaum borjuis/p. modal.
 Dilihat dr asal usul sistem hkm. Barat mrpkn sebuah man made law, artinya suatu produk hkm yg tlh di-create olh manusia yg telah diseterilkan dr nilai teologi, Tuhan dan prinsip dasar manusia.
Paham yg mendasari hukum Barat
 Libertarianisme
sebuah filsafat politik yg mengadvokasi hak-hak individu dan membatasi. Individu hrs bebas untuk berbuat apa sj yg mrk ingginkan slm mrk tdk melanggar hak orang lain.
Abad 17 -20 sbg kelanjutan dr tradisi liberalisme. Terkenal di Amerika th 1955 , di Eropa Libertaire/libertario.
 Kapitalisme
dikenal sjk th 1630 yg berasal dr istilah capital.
Mnrt Milton H. Spencer dlm bukunya Contemporry Macro Economics, 1977:
Kapitalisme mrpkan sebuah sistem organisasi ekonomi yg dicirikan oleh hak oleh hak milik privat atas alat-alat produksi.
 Sekularisme
 Pertama dikenal oleh G.S> Holyoake(1817-1906), mrpkan nama dr satu sistem etika filsafat yg bertujuan memberi interprestasi/pengaturan pd kehidupan manusia utk tdk mempercayai: Tuhan, Kitab suci dan hidup di hari kemudian.
 Pengaruh Sekularisme berkembang mjd 2 kelompok:
1. Eropa & amerika
mengakui adanya Tuhan namun hukum2 Tuhan tdk blh digunakan utk mengatur hidup manusia di masyarakat.
2. Rusia, Cina, dan Negara Komunis lainnya.
mengingkari dan tdk mengakui adanya Tuhan

 Materialisme
Materi itu primer, ide mrpkan hal sekunder
unsur pokok, dasar dan hakekat segala sesuatu dlam materi,
materi mrpkan awal dan akhir sarwa yg ada
materi itu abadi tdk diciptakan oleh siapapun, tdk ada keuatan supra natura, tdk ada kekuatan luar semesta.
Kesadaran adalah produk drpd perkembangan histories materi, otak manusia merupakan alat yg luar biasa kompleksnya drpd wujud materi, materi itu nyata, td semu.
Paradigma Modernitas & Hukum
 Persoalan modernitas diatas terkait erat dgn ilmu pengetahuan & hukum. Modernitas Barat dibangun di atas dua pilar yaitu:
1. The pilar of regulation
terdiri dari prinsip negara (kewajiban politik vertikal antara ngr dgn warga ngr),pasar, (hub. Horizontal antara masyarakat antara kepentingan individu /kewajiban politik yg saling bertentangan antar patner), kemasyarakatan (hub. Horizontal, solidaritas, kewajiban politik antar anggota masyarakat/asosiasi).
2. The pilar of emancipation
the aesthetic-expressive rasionality of the art and literatur
the cognitive-instrumental rationality of science and technology
the moral-practical rationality of ethics and the rule of laws.
Kedua pilar tersebut satu sama lain saling bertolak belang satu sama lainnya.
PERBANDINGAN HUKUM

Sejarah Perkembangan hukum
Perkembangan studi Perbandingan sistem hukum (comparative legal studies) merupakan ilmu yang sama tuanya dengan disiplin ilmu hukum itu sendiri.
perbandingan sistem hukum pada abad ke-19 baru nampak sebagai cabang khusus dari disiplin ilmu hukum.
Pendalaman secara intense terhadap disiplin ilmu hukum berawal dari Eropa yang dipelopori olrh:
1. Montesquieu (Prancis)
2. Mansfield (Inggris)
3. Von Feuerbach (Jerman)
4. Thibaut (Jerman)
5. Gans (Jerman)
6. Secara kelembagaan muncul beberapa institusi yang concern dalam pengembngan komperative legal study:
1. Institute Perbandingan Hukum di College de France (1832)
2. Institute Perbandingan Hukum di University of Paris (1846)
Sistem perbandingan Hukum di Indonesia secara makro belum populer
 Menurut Levy Ullman:

“Perbandingan hukum telah didefinisikan sebagai cabang dari ilmu hukum di mana tujuannya yaitu untuk membentuk hubungan erat yang tersusun secara sistematis antara lembaga-lembaga hukum dari berbagai negara.”
 Jolious Stone berpendapat bahwa:
“Perbandingan hukum mencoba untuk melukiskan apa yang sama dan apa yang berbeda dalam sistem hukum atau untuk mencari inti kesamaan dari seluruh sistem hukum’’.
 Rheinstein menyatakan bahwa:
“Istilah perbandingan hukum sebaiknya merujuk pada pemaparan berbagai hal mengenai cara memperlakukakan hukum secara ilmiah dengan cara pengklasifikasian secara khusus atau deskripsi analitik dari tekni penggunaan satu atau kebih sistem hukum positif.”
Sifat Dasar
Perbandingan hukum, dalam pengertian yang paling sederhana, merupakan suatu metode studi dan penelitian di mana hukum-hukum dan lembaga-lembaga hukum dari dua negara atau lebih diperbandingkan. Metode ini menaruh perhatian pada analisa kandungan dari sistem hukum yang berbeda dalam rangka menemukan solusi guna menjawab berbagai masalah hukum. Hal ini juga merupakan teknik dan kemahiran khusus di mana beberapa hal tertentu dapat diperoleh dengan mengamati hukum-hukum dari berbagai bangsa dengan cara memperbandingkan satu dengan lainnya.

Perbandingan hukum bukanlah suatu subjek persoalan, melainkan suatu metode studi. Hal tersebut merupakan proses mempelajari hukum-hukum di luar negeri dengan membandingkannya dengan hukum-hukum local. Tugas utamanya adalah untuk mengetahui dengan pasti perbedaan dan persamaan di dalam peraturan hukum, prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga terkait pada dua negara atau lebih dengan cara pandang untuk menyediakan solusi bagi permasalahan setempat. Hal ini juga merupakan disiplin untuk memelihara “social order” berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang hidup di negara-negara lain.
Nilai, Tujuan dan Kelemahan dari Perbandingan Hukum
Secara garis besar kegunaan, beberapa nilai dan tujuan dari perbandingan hukum adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman akan hukum yang lebih baik;
2. Membantu dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum lainnya;
3. Membantu pembentukan hukum dalam sistem peradilan;
4. Membantu para pengacara untuk berpraktik;
5. berguna dalam hal hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain.
SISTEM HUKUM BARAT
 Ajaran hukum kodrat
 Aristoteles :
1.Partikular dan positif
2.Alamiah (khusus, tertulis)& keadilan (konvensional)
Keadilan politik :
1.Alamiah
2.legal
 Cicero
hkm kodrat mengutamakan moral (hidup sesuai dgn hukum tertulis & kodrat manusia)
Manusia mempyai hkm yg bersm Tuhan
 Thomas Aquinas
1. hukum abadi (lex aeterna)
2. hukum kodrat (lex naturalis)
3. hukum positif (lex hummna)

 Grotius
naturalist rasionalist adl tuntutan akal budi yg tepat, yg menunjukkan bahwa suatu tindakan , sejauh sesuai /tdk ss dg hakikat rasional, mpy kualitas pendasaran moral.
 John Locke
Perintah dan kehendak pembuat hukum yg maha kuasa, Tuhan.Mengikat mausia krn mengikat Tuhan
Konsep hak milik
Manusia hidup secara kodrati jd harus didukung oleh hak pribadi
Gratius berpendapat bahwa hak pribadi sebagai hak eksklusif (mpy hak sedemikian rupa, mempertahankan & org lain tidak boleh meminta hak yg sama atas barang tersebut);
Selain itu bahwa setiap orang wajib melindungi warga lainnya baik keseluruhan atau individu,dan untuk menyumbangkan scr pribadi hal2 yg perlu utk org lain & yg prlu utk masyrkt (imperfect rights)
Melihat hak sempurna & tdk sempurna , keadilan itu ada 2 :\
 Ekspletif
keadilan yang sebenarnya
 Atributif
Keadaan ekonomi yg tdk termasuk keadaan sebenarnya. Tidak bs dipaksakan & hy diserahkan pd tiap org & org lain tdk bs menuntut individu lainnya
Hukum kodrat dan kolonialisme lainnya
 John Locke
Hukum Kodrat telah memberikan justifikasi terhadap kolonialisme.
Kolonalisme merupakan perampasan thdp hukum yg mereka yakini.
Suatu yg lepas dari pengagum hukum kodrat bahwa barat telah meninggalkan hukum kodrat setelah lahirnya positivisme.
Hubungan hukum kodrat dgn hukum positif
 Kelemahan hukum kodrat:
 Kekaburan paham kodrat
 Dualisme metodis
 Masalah kepastian
 Untuk mengatasi kelemahan itu hukum positif mengambil peranan sebagai pengalihan , kodifikasi/positifasi h kodrat untuk masyarakat manusia.dgn tujuan agar dgn h positif yg tercermin d didasarkan pd h kodrat, masyarakat mns dpt diatur d brfungsi scr harmonis
Alasan knp dgunakan h positif:
 Kelemahan dlm sistem h kodrat
 Tdk adanya definisi yg jelas h kodrat itu sdr
 Kepastian hukum kodrat lemah,masyrkt sipil perlu kepastian hukum
 H k serangkaian norma abstrak
 H. k tdk mberikan ketentuan praktis
 Ketaatan pd h k lbh trgantung pd nurani individu
Aliran Positivisme
 Terminologi:
 Legal Positivisme sbg metode
cr mempelajari h sbg fakta yg kompleks, fenomena/dt sosial bukan sbg sistem nilai.
 Legal Positivisme sbg teori
teori AP berkembang pd era kodifikasi smp abad ke-19.
 Legal Positivisme sbg Ideologi
merupakan ide bahwa h negara ditaati scr absolut yg disimpulkan ke dlm suatu the law is the law.
 Bahwa aliran positivisme mrpkn suatu aliran yg melakukan kritik kelemahan2 teori h kodrat. Dalam aliran positivisme yg berlainan pendapat 1 sm lain.
 Dlm perkembangan ada 2 aliran positivisme:hard positivism & soft positivism.
 Hard positivism: there is only the positive law: the are no objective, universal facts about morality, about what law ought to be like (Hand Kelsen).
 Soft positivism: in addition to positive law, objective morals facts do exist----untilatarian----non untilatarian
Barat & era kolonialisme
 Benang merah antara Barat dan kapitalisme dalam persepektif hukum dpt di lihat dr instrumen2 hukum yg ada bagaimana pemahaman esensial terhadap eksisitensi materi yg tdk jarang mengesampingkan niai2 moral & kemanusiaan.
 Bukti valid & tdk terbantahkan oleh nurani manusia yg srg dikampenyekan Barat dgn mgnkan istilah human rights yt: penjajahan dg perampasan hak hidup, hak ekonomi komunitas2 ngr jajahan.
 Perusahaan Inggris British of East India, VOC Belanda melakukan eksplotasi ekonomi sosial berabad-abad. Namun stlh era dekolonialisasi Barat menamai diri sbg ngr civilized nations bgs yg beradab seolah tdk pernah melakukan kejahatan kejahtn kemnsiaan dm kepentingan kapitalisme, ekonomi, serta sekularisme.
 Penjajahan yg dilakukan o/ org Eropa, mnrt sejarahwan Grewe , jg mrpkan era penyebaran sistem hukum Barat scr Internasional dibagi dlm 3 periode yt:
1. Era Spanyol (Spanish age 1494-1648)
2. Era Prancis (Frenc Age 1648-1815)
3. EraInggris (British Age 1815-1919)
 Diantara ngr jajahan trsbt terjadi transaksi & sengketa perebutan wilayah jajahan & wilayah2 taklukan itu dpt diperjualbelikan, tukar menukar bahkan smp ada sengketa antar 3 ngr merebutkan suatu teritori.
Contoh:
Penjualan lousiana o/ Prancis kpd AS seharga 60 Juta Franc, Inggris menyerahkan kepulauan Heligoland kpd Jerman & ditukar dgn Zanzibar pd tahun 1890, & penyerahan swan Islands pd th 1971 o/ AS kpd Honduras.
Senketa kepulauan Palmas”Palmas Island case” ketika Spanyol melepaskan kepulauan Filipina kpd AS melalui Traktat Paris th 1898. Dlm Traktat dijelaskan kepulauan Palmas sebagagai bagian dr kepulaua Filipina. Namun ketika AS mau mengambil alih kepemilikan, ternyata tersebut berada di bawah kontrol Belanda. Spanyol mengaku bahwa telah menguasai wilayah trsbt sjk th 1898. Namun pd kenyataan Belanda telah mjd administrator yg efektif , mk Spanyol kehilangn title kepemilikan termasuk AS atas kepulauan Palmas. Kepulauan ini diselesaikan melalui arbitrator Max Huber.
 Berdasar 3 periode tsb hampir dapat dipastikan bahwa sistem hukum yg dibawa & diterapkan o/ ke3 penjajah tersebut memiliki tradisi hukum maupu cammon law.
Pemberlakuan ke2 sistem hukum tersebut di berbagai jajahan, sprt Asian, Amerika, Amerika Selatan & afrika tdk mengalami perlawandean yg berarti dr sistem2 hukum lokal. Di samping dominasi & determinasi yg tak tertandingi oleh sistem hukum lain, Barat memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi.
Mencermati konstinuitas dominasi Barat, ternyata tdk terhenti pd era dekolonialisasi, spirit kapitalisme msh terus dijadikan sat2nya konsep yg ampuh u/ ttp leading scr ekonomi yg otomatis jg dlm percaturan politik, penetrasi budaya & ideologi. Hal ini terlihat imbalance dan inequality antara Barat dg keseluruhan kesejahteraan pddk dunia.
Barat & Resolusi Industri
 Resolusi Industri pertama (1760-1840)ris
Inggris, Amerika, Prancis, Jerman.
pertanian meningkat dg mesin uap , batu bara.
 Resolusi Industri kedua (1840-1950)
amerika, inggris, jerman, prancis,belanda
Telekomunikasi,transportasi(telegram, rel kereta, telepon, mobil,truk,d pesawat terbang.
 Resolusi Industri ketig (1950-sekarang)
amerika, jepang, eropa.
The rise of the informasi economy/ post industrial society.
Sistem Hukum Barat sbg hukum Made Law
 H. Barat mendapat tantangan & kritik keras dr kaum buruh cz hkm berpihak pd kaum borjuis/p. modal.
 Dilihat dr asal usul sistem hkm. Barat mrpkn sebuah man made law, artinya suatu produk hkm yg tlh di-create olh manusia yg telah diseterilkan dr nilai teologi, Tuhan dan prinsip dasar manusia.
Paham yg mendasari hukum Barat
 Libertarianisme
sebuah filsafat politik yg mengadvokasi hak-hak individu dan membatasi. Individu hrs bebas untuk berbuat apa sj yg mrk ingginkan slm mrk tdk melanggar hak orang lain.
Abad 17 -20 sbg kelanjutan dr tradisi liberalisme. Terkenal di Amerika th 1955 , di Eropa Libertaire/libertario.
 Kapitalisme
dikenal sjk th 1630 yg berasal dr istilah capital.
Mnrt Milton H. Spencer dlm bukunya Contemporry Macro Economics, 1977:
Kapitalisme mrpkan sebuah sistem organisasi ekonomi yg dicirikan oleh hak oleh hak milik privat atas alat-alat produksi.
 Sekularisme
 Pertama dikenal oleh G.S> Holyoake(1817-1906), mrpkan nama dr satu sistem etika filsafat yg bertujuan memberi interprestasi/pengaturan pd kehidupan manusia utk tdk mempercayai: Tuhan, Kitab suci dan hidup di hari kemudian.
 Pengaruh Sekularisme berkembang mjd 2 kelompok:
1. Eropa & amerika
mengakui adanya Tuhan namun hukum2 Tuhan tdk blh digunakan utk mengatur hidup manusia di masyarakat.
2. Rusia, Cina, dan Negara Komunis lainnya.
mengingkari dan tdk mengakui adanya Tuhan

 Materialisme
Materi itu primer, ide mrpkan hal sekunder
unsur pokok, dasar dan hakekat segala sesuatu dlam materi,
materi mrpkan awal dan akhir sarwa yg ada
materi itu abadi tdk diciptakan oleh siapapun, tdk ada keuatan supra natura, tdk ada kekuatan luar semesta.
Kesadaran adalah produk drpd perkembangan histories materi, otak manusia merupakan alat yg luar biasa kompleksnya drpd wujud materi, materi itu nyata, td semu.
Paradigma Modernitas & Hukum
 Persoalan modernitas diatas terkait erat dgn ilmu pengetahuan & hukum. Modernitas Barat dibangun di atas dua pilar yaitu:
1. The pilar of regulation
terdiri dari prinsip negara (kewajiban politik vertikal antara ngr dgn warga ngr),pasar, (hub. Horizontal antara masyarakat antara kepentingan individu /kewajiban politik yg saling bertentangan antar patner), kemasyarakatan (hub. Horizontal, solidaritas, kewajiban politik antar anggota masyarakat/asosiasi).
2. The pilar of emancipation
the aesthetic-expressive rasionality of the art and literatur
the cognitive-instrumental rationality of science and technology
the moral-practical rationality of ethics and the rule of laws.
Kedua pilar tersebut satu sama lain saling bertolak belang satu sama lainnya.

h pdt islm

KUMPULAN MAKALAH HUKUM PERDATA ISLAM

1. Pengertian Hukum Perdata Islam

Hukum Perdata Islam adalah bagian dari hukum Islam yang bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam terminologi Islam istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mua’amalah. Sehingga pengertian Hukum Perdata Islam Indonesia adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata (mu’amalah) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam di Indonesia. Menurut Zainuddin Ali, dalam kedudukannya sebagai fiqh muamalah, Hukum Perdata Islam adalah norma hukum yang dalam pengertian umum memuat aturan-aturan dalam bidang munakahat (hukum perkawinan) dan wirasah atau faraid (hukum kewarisan). Sedangkan dalam pengertian khusus, Hukum Perdata Islam mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, pengalihan hak, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi.

2. Latar Belakang Sejarah

Hukum Perdata Islam di Indonesia dapat dilacak keberadaannya hingga ke masa sebelum kedatangan Belanda. Hukum Islam telah lama hidup dalam kesadaran masyarakat bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di nusantara. Hukum Islam menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya hukum adat setempat lebih sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Sehingga antara hukum adat dengan hukum agama tidak ada bedanya, sebagaimana terjadi pada Kasultanan Banten di masa Sultan Ageng Tirtayasa. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa tersebut, Hukum Islam telah menjadi hukum positif di nusantara. Kenyataan tersebut didukung oleh bukti-bukti historis yang banyak tersebar dalam catatan sejarah.

Fase kedua perkembangan hukum Islam di Indonesia adalah pada masa penjajahan Belanda. Pada masa ini perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat diklasifikasi ke dalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.

Pada fase ini pemerintah kolonial Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap kebijakan strategisnya dengan menciptakan teori Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian van den Berg (1845-1927). Teori ini menyatakan bahwa hukum itu menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, meskipun hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.

Teori tersebut berubah drastis dengan munculnya Snouck Hourgronje (1857-1936). Ia mengemukakan Teori Receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima dan memiliki kekuatan hukum jika diterima oleh hukum adat. Sehingga, dalam teori ini, yang ada hanyalah hukum adat, sementara hukum Islam dianggap tidak ada. Muatan utama teori Receptie adalah devide et impera dan upaya menghambat meluasnya hukum Islam. Pengaruh teori ini bahkan masih mengakar kuat sekalipun Belanda telah enyah dari Indonesia. Bahkan hingga pertengahan dekade 70-an banyak hakim yang masih menyelesaikan sengketa warisan antara orang Islam dengan hukum adat. Sehingga, sangat layak jika Prof. Hazairin menyebut teori Receptie sebagai teori iblis, karena teori tersebut mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi al-Qur’an dan sunnah Rasul.

Fase ketiga perkembangan hukum Islam adalah pada masa setelah kemerdekaan. Prof. Hazairin mengatakan, setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori Receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus enyah (exit) karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul. Selain Hazairin, pengakuan atas keberadaan hukum Islam diperkuat Sayuti Thalib yang mencetuskan teori Receptie a Contrario atau Receptio Exit. Teori ini menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.

v KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) INDONESIA

1. Pengertian dan Latar Belakang

Term “kompilasi” adalah padanan kata dari bahasa Inggris (compilation) atau bahasa Belanda (compilatie) yang berarti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan berbagai peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Mengacu kepada kutipan tersebut, Abdurrahman mengatakan bahwa kompilasi adalah kegiatan pengumpulan berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai rujukan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan tersebut kemudian dibukukan dalam suatu buku tertentu, yang bertujuan antara lain untuk memudahkan pencarian suatu bahan tertentu dari materi kompilasi tersebut saat diperlukan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia adalah sebuah hasil dari upaya pengumpulan berbagai aturan hukum, pendapat hukum, serta bahan-bahan hukum tertentu yang kemudian dikumpulkan dalam satu buku. Dalam istilah A. Qodri Azizy, hal itu disebut dengan eklektisisme, yaitu upaya membentuk fiqh yang bernuansa keindonesiaan dengan cara memilah dari berbagai sumber dan doktrin hukum. Pada konteks ini, KHI merupakan sebuah fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang terdiri dari bab-bab, pasal-pasal, serta ayat-ayat. Dengan kata lain, KHI merupakan positivisasi hukum Islam di Indonesia. Namun KHI belum merupakan positivisasi seluruh bidang hukum Islam, melainkan baru dalam sebagian bidang muamalah.

Kompilasi Hukum Islam lahir karena adanya keinginan Mahkamah Agung dan Departemen Agama RI untuk mewujudkan adanya tata hukum yang positif dan sistematis. Tata hukum tersebut minimal memuat aturan hukum mengenai perkawinan, waris, hibah, wasiat dan wakaf. Selain itu, terdapat beberapa faktor pendorong yang melatarbelakangi kelahiran KHI. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, adanya keyakinan umat Islam bahwa masalah hukum waris dan hukum keluarga erat sekali kaitannya dengan masalah aqidah. Kedua, terdapat banyak putusan Pengadilan Agama (PA) yang bersifat fluktuatif dan disparitatif. Hal ini berimplikasi pada tidak adanya kepastian hukum. Ketiga, upaya untuk mempercepat proses taqrib baina ummah (kesalingpahaman di antara umat), agar di antara umat Islam muncul sikap untuk saling melakukan pendekatan pemahaman di bidang hukum Islam. Dalam hal ini, keberadaan KHI tersebut diharapkan mampu mengikis jurang khilafiyah dalam bidang hukum keluarga. Keempat, menyingkirkan kecenderungan paham privat affair. Hal ini muncul karena adanya kesalahpahaman dari sebagian umat Islam yang menganggap bahwa hukum Islam adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya an sich. Padahal, sebagai suatu sistem, selain terdapat masalah ubudiyah, syariah juga meliputi masalah muamalah yang berkaitan dengan realitas hukum maupun sosial.

Melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi kelahiran KHI tersebut, maka sebenarnya KHI muncul karena pertimbangan praktis untuk memudahkan proses penetapan hukum oleh para hakim agama. Sebagaimana dikatakan Abdurrahman, tujuan utama perumusan KHI adalah untuk menyiapkan pedoman yang seragam (unifikatif) bagi hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia.

2. Proses Penyusunan dan Sumber Rujukan

Sebelum lahirnya KHI, para hakim PA merujuk kepada kitab-kitab fiqh dalam menyelesaikan perkara. Beragamnya kitab-kitab fiqih yang dirujuk oleh masing-masing hakim tersebut mengakibatkan munculnya keragaman keputusan hukum, yang tak jarang terjadi pada kasus yang sama (disparitas). Hal itu berkaitan erat dengan karakter kitab-kitab fiqh yang sarat dengan perbedaan pendapat, perbedaan pendekatan, atau perbedaan sosio-kultural yang melingkupinya. Kondisi semacam itu amat riskan karena berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum.

Untuk mengatasi ketidakpastian hukum tersebut, pada Maret 1985 terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA dan Menteri Agama untuk membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. Proses yang ditempuh tim tersebut dalam upaya menyusun KHI adalah menggunakan metode sebagai berikut:

a. Pengkajian kitab-kitab fiqh dengan melibatkan 7 IAIN se Indonesia untuk mengkaji 38 kitab fiqh.

b. Wawancara dengan para Ulama yang dilakukan terhadap para ulama dari 10 wilayah melalui proses seleksi yang dilakukan oleh Depag.

c. Penelitian Yurisprudensi PA yang dilakukan terhadap putusan PA yang telah dihimpun dalam 15 buku.

d. Studi banding dengan negara lain, yaitu Turki, Mesir dan Pakistan. Materi studi banding meliputi sistem peradilan, syariah law, sumber hukum dan hukum materiil, terutama al-ahwal al-syakhshiyah.

e. Lokakarya dan Seminar yang dilakukan selain sebagai penyempurnaan secara metodologis, juga dimaksudkan sebagai forum untuk menggalang konsensus (ijma’). Dalam lokakarya tersebut disepakati perlunya hukum fiqh yang bercorak Indonesia. Selain itu muncul keinginan agar KHI tersebut dapat diundangkan sebagai UU, namun sebagaian yang lain menginginkan dalam bentuk PP atau Keppres.

Akhirnya, melalui Inpres No. 1/1991, Menteri Agama diinstruksikan untuk menyebarluaskan KHI yang sistematikanya terdiri dari :

Buku I : Hukum Perkawinan (Bab I s/d Bab XIX, pasal 1 – 170);

Buku II : Hukum Kewarisan (Bab I s/d Bab VI, pasal 171 – 214);

Buku III : Hukum Perwakafan (Bab I s/d Bab V, pasal 215 – 229).

Meski isi Inpres tersebut lebih menekankan pada usaha penyebarluasan KHI, namun dari sisi metodologis, substansi KHI adalah tuntutan bagi masyarakat agar secara moral bertanggung jawab untuk melaksanakannya.

A. PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pencegahan perkawinan adalah usaha yang menyebabkan tidak berlangsungnya perkawinan. Berbeda dengan pembatalan perkawinan, pencegahan berlaku sebelum terjadi pernikahan sedangkan pembatalan terjadi setelah terjadi perkawinan atau dalam bahasa lain, pembatalan adalah usaha yang dilakukan agar hubungan perkawinan tidak dilanjutkan setelah perkawinan tersebut terjadi secara sah.

Pencegahan dalam kitab-kitab fiqh disebut dengan al-I’tiradl yang berarti intervensi atau penolakan atau pencegahan. Hal tersebut biasa bekaitan dengan hal kafa’ah dan mahar. Kafa’ah dan mahar merupakan harga diri dan gengsi dalam suatu keluarga. Pihak keluarga perempuan biasnya merasa harga dirinya jatuh apabila anak perempuannya kawin dengan laki-laki yang tidak se-kufu’ atau status sosialnya lebih rendah. Demikian pula mahar yang diterima seorang anak perempuan lebih rendah dari apa yang diterima oleh anggota keluarganya yang lain juga menyebabkan timbulnya perasaan harga dirinya jatuh. Untuk menjaga gengsi atau harga diri, anak perempuan akan mengajukan keberatan untuk melangsungkan perkawinan. Tindakan seperti ini disebut dengan al-I’tiradl.

Ø Pencegahan Dalam Perundangan

Di dalam KUH Perdata (BW) tentang pencegahan perkawinan diatur dalam pasal 59-70. UU yang baru yaitu UU no. 1 tahun 1974 (KHI) diilhami oleh hukum perdata lama tersebut (BW). Menurut UU no. 1 th 74 pasal 13-21 tentang pencegahan perkawinan dikatakan bahwa; ”perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Dalam pasal 14 yang dapat melakukan pencegahan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah satu calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan jika:

1. Terdapat pelanggaran umur perkawinan; umur pria kurang dari 19 tahun dan umur wanita kurang dari 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari pengadilan.

2. Jika hukum masing-masing agama dan kepercayaan si suami dan si istri, menetukan lain dari pada kehendak si suami dan si istri untuk kawin untuk yang kedua kalinya antara mereka.

3. Terdapat pelanggaran tata cara pelaksanaan perkawinan.

Pencegahan tersebut dilakukan dengan mengajukan permohonan melalui pengadilan agama daerah hukum dimana perkawinan tersebut akan dilaksanakan dan memeberitahukan kepada pegawai pencatat nikah (Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama) serta kepada calon mempelai sebelum ada keputusan pengadilan tentang permohonan itu dicabut maka perkawinan belum dapat dilaksanakan. Tata cara pelaksanaan pencegahan perkawinan terdapat dalam pasal 17, 18, 19, 20, dan 21. Juga diatur dalam pasal 65 sampai 69 yang rumusannya hampir mirip dengan pasal sebelumnya.

Pencegahan perkawinan berkaitan sekali dengan larangan perkawinan. Adanya pencegahan pada suatu perkawinan yang akan dilaksanakan pasti disebabkan pelanggaran terhadap larangan perkawinan. Larangan perkawinan tersebut diantaranya:

1. Bilamana antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita terdapat hubungan keluarga dekat, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, juga dalam hubungan garis keturunan menyamping dan hubungan semenda.

2. Demikian juga terdapat hubungan susuan, yaitu susuan orang tua, anak susuan dan lain-lainnya.

3. Derajat mempelai laki-laki rendah daripada derajat mempelai wanita (kafa’ah).

4. Seorang istri nikah lagi dalam waktu iddah.

5. Seorang suami yang telah beristri empat nikah dengan istri kelima.

6. Seorang istri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain.

7. Pelanggaran larangan nikah mut’ah.

8. Oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

B. PEMBATALAN PERKAWINAN

Pembatalan perkawinan seperti yang telah disebutkan di atas adalah usaha yang dilakukan agar hubungan perkawinan tidak dilanjutkan setelah perkawinan tersebut terjadi secara sah. Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waard (tidak ada nilai). Dapat dibatalakan berarti nietig verklaard, sedang; abslolut nietig adalah kebatalan mutlak, berarti sejak semula tidak terjadi perkawianan.

Istilah dapat dibatalkan dalam UU ini berarti dapat di-fasidkan, jadi relative nietig. Jadi perkawinan dapat dibatalkan berarti suatu perkawinan sudah terjadi dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Sebab-sebab pembatalan suatu perkawinan yaitu:

1. Pelanggaran prosedur perkawinan. Contohnya syarat-syarat wali nikah tidak terpenuhi, tanpa dihadiri oleh saksi-saksi pada saat terjadinya perkawinan, atau dilaksanakan oleh pegawai yang tidak berwenang.

2. Pelanggaran materi perkawinan. Contohnya perkawinan dilaksanakan dibawah ancaman; atau perkawinan yang berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri calon suami atau istri.

Dalam UU no. 1 tahun 1974 pasal 22 dikatakan bahwa, “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana pasal 23 adalah:

a. Para anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari pihak suami maupun pihak istri.

b. Suami atau istri itu sendiri.

c. Pejabat yang berwenang, tetapi selama perkawinan belum putus.

d. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

e. Mereka yang dirinya masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai, tanpa mengurangi hak pengadilan untuk dapat memberikan izin untuk seorang suami beristri lebih dari seorang dan tidak mengurangi hak seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang mengajukan ke pengadilan untuk kawin lagi.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat terjadinya perkawinan (pasal 28 ayat 1). Keputusan pengadilan tersebut tidak berlaku surut terhadap:

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

2. Suami atau istri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perakawinan didasarkan atas perkawinan lain yang lebih dahulu.

3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau istri tersebut di atas sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai keputusan hukum yang tetap.

A. Syarat dan rukun perkawinan menurut hukum islam

1. Pengertian

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang mencangkup dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

Dalam hal perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama’ yang perbedaan ini tidak bersifat subtansional. Perbedaan diatara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama’ sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah: akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini dan begitu pula dalam KHI rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:

a. Calon mempelai laki-laki

b. Calon mempelai perempuan

Adapun mengenai syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh keduanya adalah

a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya

b. Keduanya sama-sama beragama islam

c. Antar keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan

d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula untuk dengan pihak yang akan mengawinkannya

c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan

Syarat-syarat wali

· Telah dewasa dan berakal sehat, Laki-laki, Beragama islam, Merdeka, Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur ‘alaih, Berpikiran baik, Adil tidak pernah terlibat dosa besar dan tidak sering melakukan dosa serta tetap memelihara muruah atau sopan santun, Tidak sedang melakukan haji atau umrah.

d. Dua orang saksi

Syarat-syarat saksi

· Saksi berjumlah minimal dua orang, Beragama islam, Merdeka, Laki-laki, Dapat mendengar dan melihat, Adil

· Di kalangan Nahdliyin saksi yang tidak diketahui tingkah lakunya dalam keseharian apakah adil atau tidak sunat disuruh bertaubat dulu ketika pelaksanaan akad, Tidak bisu dan pelupa, Menghadiri akad nikah dan mengerti maksudnya

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan Kabul yang dilakukan olaeh suami.

Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua , Ijab dari pihak wali perempuan dengan ucapannya: ’’saya kawinkan anak saya yang bernama si fulan kepada mu dengan mahar sebuah kitab alqur’an misalnya”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “saya terima mengawini anak bapak sifulan dengan mahar sebuah kitab alqur’an”.

Syarat-syarat akad nikah

1. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul

2. Materi dari ijab dan qobul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan dan bentuk mahar yang disebutkan.

3. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambung tanpa terputus

4. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan

Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadz yang jelas

Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk kedalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung dengan demikian mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.

A. Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

Undang-undang perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-undang perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan.

v Syarat-syarat perkawinan

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon memepelai. Jadi dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari unsur paksaan.

2. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapatkan izin dari orang tuanya, dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pri sudah mencaopai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapain umur 16 tahun. Ketentuan itu menegaskan bahwa mereka yang berumur 21 tahun keatas tidak memerlukan izin orang tuanya.

3. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknnya izin diperoleh dari wali yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknnya

5. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan diatas.

6. Hal-hal yang disebutkan dimuka angka satu sampai lima, berlaku sepanjang hokum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

v Perkawinan Antar Agama

1. Pengertian

Perkawinan antar/beda agama adalah perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau. Pernikahan antar agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang non-Muslim atau non muslim dengan non muslim, baik yang dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab. Masalah pernikahan lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama

Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik atau sama non muslim.

v Pernikahan Beda Agama Menurut Agama-agama yang ada di Indonesia

Semua agama yang ada dan diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia, pada hakikatnya, berpendapat bahwa perbedaan agama merupakan halangan bagi pria dan wanita untuk melangsungkan pernikahannya secara sah. Sebagai contoh, agama Katolik, Protestan dan Islam, agama-agama yang relative banyak pemeluknya di tanah air.

Agama Katolik dengan tegas menyatakan bahwa “Pernikahan atara seorang katolik dengan penganut agama lain, tidak sah (Kanon 1086). Namun demikian bagi mereka yang tidak dapat dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja yang berwenang yakni uskup dapat memberi despensasi dengan jalan menikahkan pemeluk agama katolik dengan pemeluk agama lain, asal saja keduanya memenuhi syarat yang ditentukan hukum gereja dalam Kanon 1125 yakni 1) yang beragam Katolik berjanji (i) akan tetap setia pada iman Katolik, dan (ii) berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik, sedang (2) yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain (i) menerima pernikahan secara Katolik, (ii) tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik, (iii) tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik melaksanakan imannya, dan (iv) bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

Menurut pandangan Greja Katolik, perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda akan menimbulkan berbagai konflik atau pertentangan dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga. Konflik-konflik yang akan timbul adalah konflik iman, konflik batin, konflik hak asasi, konflik system nilai, konflik kewajiban asasi terhadap anak, konflik kejiwaan dan kebingungan pada anak-anak dan konflik-konfilik yang lainnya terutama setelah api cinta tidak lagi menyala. Oleh karena itu, menurut agama Katolik, pernikahan antara orang-orang yang berbeda agama hendaklah dihindari.

Gereja dapat mengizinkan perkawinan antara orang yang berbeda agama yaitu orang-orang Kristen dengan orang yang beragam lain, asal dipenuhi beberapa syarat yang ditetapkan oleh masing-masing gereja, yang berbeda satu dengan yang lain. Gereja Kresten Indonesia, misalnya, menetapkan antara lain, (1) yang beragama Kristen Protestan harus menanda tangani suatu perjanjian yang berisi (i) tetap akan melaksanakan iman Kristennya (ii) akan membaptis anak-anak yang lahir dari perkawinan itu secara Kristen, dan (iii) berjanji akan mendidik anak-anak mereka secara Kristen. (2) yang bukan beragama Kristen Protestan harus menandatangani surat pernyataan, bahwa ia (i) tidak keberatan perkawinan dilaksanakan di gereja Protestan, (ii) tidak keberatan anak-anak mereka dididik secara Protestan.

Oleh karena itu, komperensi Wali Gereja Indonesia (Katolik) dan Persatuan Gereja Indonesia (Protestan) dalam seminarnya tentang perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda, yang diselenggarakan di Malang tanggal 12-14 Maret 1987, memutuskan mengenai perkawinan Lintas Agama antara lain sebagai berikut (i) Perkawinan campuran berbeda gereja sudah sepenuhnya diterima antara gereja-gereja anggota Persatuan Gereja Indonesia (PGI=Protestan), (ii) perkawinan antara Protestan dengan Katolik, pada umumnya, sudah diterima (juga) berdasar banyaknya persamaan, (iii) perkawinan antara Protestan dan Katolik sudah semakin umum dilaksanakan secara pindah Gereja.

Mengenai perkawinan antar orang-orang yang beda agama. Melalui syari’at atau hukum agamanya, Islam telah mengaturnya secara jelas dalam al-Qur’an suratsurat al-Baqarah (2): 221, al-Mumtahanah (60): 10, dan al-Maidah (5): .

v Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia

Undang-undang perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1975 mempunyai ciri khas kalau dibandingkan dengan hukum perkawinan sebelumnya terutama dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan diwariskan oleh pemerintah kolonial belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hukum agama. Undang-undang perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia yakni Pancasila dan salah satu kaidah fundamental Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Perkawinan dianggap sah apabila diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif.

Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama?, Menurut hemat penulis, untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pedoman, yaitu :

· Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.

· Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.

Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat diartikan bahwa disamping ada larangan-larangan yang disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.

Namun demikian Dapat ditarik kisimpulan UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.

Ø Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:

1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.

2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.

3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama

4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.

Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama, Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.

A. Pencatatan Perkawinan

Peraturan perundang-undangan yang mengatur pencatatan perkawinan adalah :

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Diberlakukannya Undang-Undang ini berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa: Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tersebut

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 1

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 sampai dengan Pasal 11

4. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Tata Kerja Peradilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Undang-Undang Perkawinan bagi yang beragama Islam

5. Kompilasi Hukum Islam Buku I Tentang Perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa Pencatatan Perkawinan merupakan suatu tahapan agar perkawinan memiliki kekuatan hukum. Kompilasi Hukum Islam hanya memuat hukum-hukum materiil mengenai perkawinan menurut ajaran Islam dan tidak lagi memuat hal-hal yang bersifat teknis seperti yang telah disebutkan dalam peraturan-peraturan sebelumnya.

Apabila pasal-pasal mengenai pencatatan perkawinan dicermati, nampak yang dimaksud pencatatan itu adalah sebuah proses yang melalui beberapa tahapan mulai dari pemberitahuan kehendak nikah sampai dengan penandatanganan akta perkawinan oleh pihak-pihak yang telah ditentukan setiap orang yang hendak melakukan pernikahan harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Pemberitahuan kehendak nikah kepada PPN (Pasal 3 Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975), bagi umat Islam, PPN yang dimaksud adalah PPN atau penbantu PPN yang mewilayahi tempat dilangsungkannya akad nikah (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975). Pemberitahuan ini dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua/wakilnya.

2. Pemberitahuan bertujuan agar PPN dapat memeriksa apakah perkawinan dapat dilangsungkan. PPN memeriksa data yang ditemukan apakah terdapat halangan yuridis (Pasal 5-6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 7 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975) selain itu pemeriksaan terhadap surat-surat seperti dalam pasal 6 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 8 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975)

3. Apabila ternyata hasil penelitian tidak terdapat halangan, maka segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya

4. Kemudian PPN menempelkan surat pengumuman di KUA (Pasal 8 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 19 PERMENAG) dalam pengumuman itu dimuat identitas calon dan waktu perkawinan dilangsungkan (Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975)

5. Perkawinan dilaksanakan hari kesepuluh setelah pengumuman (Pasal 10 Ayat 1 PP Nomor 9 Tahun 1975), akad nikah dilakukan menurut ajaran agama mempelai (Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 10 Ayat 2 PP Nomor 9 Tahun 1975)

6. Lalu proses perkawinan memasuki tahap akhir yaitu penandatanganan akta perkawinan, dengan ditandantanganinya akta, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975)

B. Akta Perkawinan

Yang dimaksud akta perkawinan adalah daftar besar (dahulu Register Nikah) yang memuat antara lain sebagai berikut :

1. Nama, tempat dan tanggal lahir, Agama/Kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri ; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.

2. Nama, Agama/Kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;

3. Izin yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) (3) (4) dan (5) Undang-undang

4. Dispensasi yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-undang

5. Izin pengadilan sebagi dimaksud dalam pasal4 Undang-undang ;

6. Persetujuan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 Undang-undang ;

7. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh menteri HANKAM/PANGAB bagi Angkatan bersenjata;

8. Perjanjian perkawinan apabila ada ;

9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya. Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinannya yang telah disiapkan Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku.setelah itu, diikuti penandatangan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang menghadiri akad nikah. Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatangan Akta Nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis nornatif.

Akta perkawinan dibuat rangkap dua, helai pertama disimpan oleh PPN, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Adapun kedua mempelai diberi kutipan akta nikah.

Buku nikah ini tidak memuat semua hal yang terdapat dalam akta perkawinan, tetapi beberapa hal yang penting. Kutipan akta nikah ini menjadi bukti autentik bagi perkawinan, karena dibuat oleh pegawai umum yang berwenang. Sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Selain itu, Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Apabila suatu kehidupan suami isteri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah kepada Pengadilan Agama sehingga bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Adapun yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yaitu :

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u .................. ÇËÑËÈ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya………….. (QS : Al-Baqarah :282)

Berdasarkan terjemahan terjemahan diatas, para pemikir hukun Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.

Melalui kajian ini dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan dan akta nikahnya merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh penduduk yang mendiami wilayah Negara Republik Indonesia. Pemikiran itu didasari oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas dari ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan muamalah Al-Baqarah ayat 282 dan maslahah mursalah dari perwujudan kemaslahatan.

C. Perjanjian perkawinan

Perjanjian perkawinan menurut asalnya merupakan tujuan dari kata “huwelijkse voorwaarden” yang ada dalam BW. Howelijkse sendiri menurut bahasa berarti perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Namun menurut masing-masing kata, dalam kamus bahasa dapat diartikan :

1. Perjanjian adalah persetujuan syarat, tenggang waktu, kesepakatan baik lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk ditepati.

2. Perkawinan adalah pernikahan atau hal-hal yang berhubungan dengan kawin.

Perjanjian perkawinan beda dengan perjanjian yang lain seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. Perjanjian biasa pada pokoknya membebaskan para subyeknya untuk menentukan isinya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam suatu perkawinan isi perjanjian serta akibat hukum dan aturan yang menyangkut dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh hukum.

1. Dasar Hukum Perjanjian

Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh seseorang untuk membuat dan boleh tidak membuat. Namun kalau sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian perkawianan itu, menjadi perbincangan di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya; bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan.

a. Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 128

ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS: An-Nisaa :128)

Karena sifatnya ijtihadi, maka pengambilan dasar hukumnya dapat diadopsi dari masalah yang telah dahulu ada yang secara konsep paling tidak mempunyai kedekatan dalam maksudnya.

b. Al-Hadits

Hal ini ditegaskan oleh hadits Nabi dari ‘Uqbah bin ‘Amir menurut jemaah ahli hadits :

أحق الشروط بالوفاء ما استحللتم بهالفروج

Artinya : Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan

Al-Syaukaniy menambahkan alasan lebih layaknya memenuhi persyaratan yang berkenaaan dengan perkawinan itu adalah karena urusan perkawinan sesuatu yang menuntut kehati-hatian dan pintu masuknya sangat sempit.

c. Kaidah Fiqhiyah

الأصل فى الأشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم

Artinya Bahwasannya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali kalu ada dalil yang mengharamkannya.

Perjanjian dalam pelaksanaan perkawinan diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut :

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut

2. Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun pasal 11 dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :

1. Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam

2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan

3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.

Isi pasal 11 tersebut, dirinci oleh pasal 45 sampai pasal 52 KHI, yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam seperti dijelaskan di bawah ini Pasal 46 KHI

1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

2. Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

3. Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Naskah taklik talak tersebut perlu diperiksa secara telliti oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, hal itu, diungkapkan sebagai berikut :

1. Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami isteri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksudkan Pasal 11 ayat 3 peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan.

2. Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akad nikah suami tidak mau mengucapakannya, maka hal ini segera diberitahukan kepada pihak isterinya.

Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agama harus benar-benar meneliti apakah sang suami menyetujui dan mengucapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya, mesti tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya. Kalau suami menandatangani di bawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.

Apabila memperhatikan sighat taklik talak dapat dipahami bahwa maksud yang kandungannya amat baik dan positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang isteri yang harus diterimamya. Meskipun sang isteri sudah mendapat hak, baik hak khulu’ maupun hak fasakh. Oleh karena itu, amat penting untuk memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan dengan membubuhi tanda tangan atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan pada sighat taklik talak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadi kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat yang dimaksud. Selain itu, perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh kedua belah pihak mengenai harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan diatur oleh Pasal 47 -52 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

Pasal 47

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

2. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

3. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

1. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

1. Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

1. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah

2. Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan

3. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.

4. Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

5. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

POLIGAMI, HAK DAN KEWAJIBAN ISTERI

A. Alasan, Syarat dan Prosedur Poligami

Pengadilan agama baru dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :

1. Adanya persetujuan dari istri

2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya

3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.

Adanya jaminan ini dengan memperlihatkan :

1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.

2. Surat keterangan pajak penghasilan.

3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Dalam Undang-Undang Perkawinan hak-hak dan kewajiban suami-istri dirumuskan dalam pasal 30 : Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Untuk dapat mencapai tujuan itu maka para pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan harus saling mengadakan pendekatan dengan jalan :

1. Saling berkorban, sebab tanpa adanya pengorbanan maka tujuan dari perkawinan tentu sukar untuk dicapai.

2. Berbudi pekerti yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga sebab keluhuran tidak lepas dari pengertian akhlak dan moral.

A. hak dan kewajiban yang bersifat bukan kebendaan

Perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian perikatan antara suami-istri , yang tentunya akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak.

Yang dimaksud dengan hak adalah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperolehnya dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak rela apabila haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.

Adapun hak-hak dan kewajiban suami-istri dalam perkawinan itu ada yang merupakan hak-hak kebendaan, misalnya : hak atas nafkah, dan hak bukan kebendaan, misalnya : hak dan kewajiban bergaul baik sebagai suami-istri di dalam hidup berumah tangga.

Adapun hak-hak dan kewajiban suami-istri yang diatur dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi adalah Pergaulan suami-istri yang baik dan tenteram dengan rasa cinta-mencintai dan saling harga-menghargai. Jadi diharapkan di dalam pergaulan suami-istri, baik dalam hubungan orangnya maupun yang bersangkutan dengan harta benda dilaksanakan dengan baik dan penuh kejujuran.

Termasuk di dalam pergaulan yang baik bagi suami-istri adalah menjaga rahasia masing-masing. Artinya suami harus menjaga rahasia yang ada pada istrinya, demikian sebaliknya si istri juga wajib menjaga rahasia suaminya. Perkawinan juga harus berdasarkan saling cinta-mencintai, yang berarti pula saling memerlukan dalam hubungan sex sebagai suami-istri, terutama bagi suami-istri yang masih muda. Untuk yang sudah tua dibutuhkan rasa saling memerlukan dan saling membela, yang di dalam Al Qur’an disebut “rahmat”

Dengan saling menggabungkan ketentuan yang tersebut di atas, Maka pada pokoknya pergaulan suami-istri dalam perkawinan hendaknya :

1. Pergaulan yang baik atau saling menjaga rahasia masing-masing.

2. Pergaulan yang tenteram.

3. Pergaulan yang saling cinta-mencintai.

4. Pergaulan yang disertai rahmat yaitu saling memerlukan dan membela di masa tua.

B. Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan

Adapun Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan adalah :

1. Suami wajib memberikan nafkah pada istrinya

2. Suami sebagai kepala keluarga

3. Istri wajib mengatur rumahtangga dengan baik

B. Kewajiban suami-istri dalam rumahtangga

Kewajiban suami-istri dalam rumahtangga ini harus diartikan secara timbal balik bahwa apa yang menjadi kewajiban suami adalah merupakan hak dari istri, demikian sebaliknya apa yang menjadi kewajiban istri adalah hak bagi suami.

Mengenai kewajiban suami istri ini diatur dalam pasal 33 dan 34 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut :

a. Kewajiban secara timbal balik yang bersifat bukan kebendaan, yaitu :

1. Antar keduanya harus saling cinta mencintai

2. Harus saling hormat menghormati

3. Wajib setia antar suami istri

4. Kewajiban bantu membantu antara suami istri

b. Kewajiban secara timbal balik yang bersifat kebendaan, yaitu :

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Istri wajib mengatur rumahtangga dengan sebaik-baiknya