islamic school.com

Minggu, 19 September 2010

ii
ANALISIS FATWA PONDOK PESANTREN PERSATUAN ISLAM (PERSIS) BANGIL MENGENAI KEHALALAN MENGKONSUMSI DAGING ANJING (Perspektif Hukum Islam) SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Tugas

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Jurusan Syari’ah

Oleh:
MUZAKKIR NIM: I 000 050 012 FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pesantren sebagai ujung tombak bagi pembinaan dan pengembangan hukum Islam dengan menampilkan berbagai sistem pemahaman ajaran Islam untuk menghadapi kondisi zamam, pesantren telah banyak tersebar ke seluruh Indonesia. Dimana, pada awalnya pesantren diharapkan mampu menghadang arus panatisme golongan (baca: mazhab). Salah satu wadah atau tempatnya itu terletak di pesantren persatuan Islam (persis) Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur; yang melalui organisasinya telah menjadi suatu lembaga pendidikan yang ikut bertanggungjawab terhadap masa depan umat. Organisasi persatuan Islam (persis) yang pada mulanya berdiri di kota Bandung pada tahun 1920-an, tepatnya pada tanggal 17 September 1923, pada umumnya kurang berminat untuk membentuk cabang, sedang yang ada di Bangil adalah sehubungan dengan perpindahan seorang tokoh yang punya andil besar dalam dinamika persatuan Islam (persis), beliau adalah A. Hassan. Bahkan, kalangan persatuan Islam (persis) Bandung tidak segan-segan menjulukinya sebagai tokoh terkemuka persatuan Islam (persis). Sistem pemahaman ajaran Islam yang diterapkan di pesantren 2


persatuan Islam (persis) Bangil bersifat praktis dan matematis dalam metode pengambilan hukum yang bersumber pada al-Qur’an dan hadits tanpa harus terbelenggu oleh para imam mazhab. Barangkali ini yang membedakannya dengan sebagian organisasi Islam lainnya di tanah air. Gerak yang dikembangkan oleh para ulama pendiri pesantren persatuan Islam (persis) Bangil adalah semanagat ijtihad mengembalikan pengamalan ajaran Islam secara murni berdasarkan al-Qur’an dan hadits. Kemudian, dengan kemajuan dan perkembangan dunia modern, istilah “Manusia Sebagai Penguasa Alam” menjadi terma yang cukup mencuat. Dengan keahliannya, para dokter sudah mampu mengungkap; bahwa dalam tubuh babi, anjing, dan atau hewan sejenis lainnya mengandung cacing (parasiet) berbahaya yang disebut
taenia achinococcus
. Para psikolog mengatakan, bahwa prilaku garang (baca: galak) manusia ternyata juga dipengaruhi oleh mendominasinya pengkonsumsian manusia terhadap daging jenis hewan
omnifora
. Lalu mengapa “Manusia Sebagai Penguasa Alam” yang –katanya- mampu menguak berbagai rahasia Allah swt. lewat penemuan-penemuannya seperti tidak mengerti mana yang berbahaya dan mana yang tidak? Mana yang halal dan mana yang tidak? Jika pada tatanan aqidah saja umat Islam berhak memiliki warna pikir lain, apalagi pada wilayah kajian fiqih; tentunya perbedaan pendapat itu menjadi hal yang lumrah. Sepanjang perbedaan tersebut lahir dari sumber 3


autentik; yaitu al-Qur’an dan hadits dengan pemahaman yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Sejak lebih dari empat tahun yang lalu berkecimpung dengan doktrin keagamaan seperti pada latar belakang penyusunan skripsi di atas, dan lebih dari sebelas tahun di dunia pesantren seperti yang penyusun utarakan menjadikan topik skripsi ini layak untuk penyusun teliti lebih lanjut. Ada hal yang cukup menarik ketika penyusun menelaah hasil fatwa dari para pakar fiqih pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil mengenai problematika yang menjadi sasaran penyusunan skripsi ini, yakni bagaimana upaya para pakar fiqih persis Bangil berusaha menerapkan makna dan cara berfikir ilmu fiqih secara benar. Dimana, kata “fiqih” secara bahasa bermakna
alfahmu
, dengan arti; pemahaman. Sebuah pemahaman terhadap teks juga dipengaruhi oleh tingkat dan kapasitas keilmuan seseorang ketika menghadapi sebuah teks. Masih dapat ditolelir tentunya; jika sebuah produk fiqih tidak hanya bersandar pada produktifitas akal murni. Dan dari sini berlakulah sabda Rasulullah saw. yang menyatakan;
ا

ﻢﻜﺣ

اذإناﺮﺟأ

ﻪﻠﻓ

بﺎﺻا

ّﻢﺛ

ﺪﻬﺘﺟﺎﻓ

ﻢآﺎﺤﻟ
,
ّﻢﺛ

ﺪﻬﺘﺟاو

ﻢﻜﺣ

اذﺈﻓﺪﺣاو

ﺮﺟأ

ﻪﻠﻓ

ﺄﻄﺧأ
.}
ﻢﻠﺴﻣو

يرﺎﺨﺒﻟا

ﻩاور
{

Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, ia memperoleh dua pahala [pahala ijtihad dan pahala kebenarannya]; dan apabila akan memutuskan perkara kemudian berijtihad namun ijtihadnya salah, ia mendapatkan satu pahala [pahala ijtihadnya].
(HR. Bukhari dan Muslim) Tertarik menekuni bidang pemikiran fiqih, dimana al-Qur’an dan 4


hadits menjadi sumber primordialnya menjadikan penyusun ingin mengaplikasikan ketertarikan tersebut lewat penyusunan topik skripsi yang dimaksud. Sebab penyusun berkeyakinan; merupakan sebuah keganjilan jika suatu bakat dan minat yang diimani sebagai hal yang positif, akan tetapi tidak wajib diwujudkan. Kemudian, jika saja Allah swt. melalui sabda Rasul-Nya tetap memberikan ganjaran pada dua kutub seorang mujtahid tersebut, lalu atas dasar apakah seseorang “lantang” menghakimi produk ijtihad lain; sepanjang syarat-syarat sebagai seorang mujtahid terpenuhi “dan tentunya bukan mujtahid level karbitan yang tidak paham seluk beluk dan kaedah-kaedah ijtihad?” Menurut Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ada enam syarat bagi seseorang dalam melakukan ijtihad. Syarat tersebut adalah; 1. Mengetahui dalil-dalil syar’i yang dibutuhkan pada waktu melakukan ijtihad; seperti mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. 2. Mengetahui disiplin ilmu yang menyangkut tentang keshahihan dan kedhaifan sebuah hadits, seperti mengetahui sanad-sadad, rijal-rijalnya dan selain dari keduanya. 3. Mengetahui
nasikh
dan
mansukh,
dan wilayah ijma’ supaya seorang mujtahid tidak berhukum dengan yang mansukh atau dengan yang menyelisishi ijma’. 5


4. Mengetahui dalil-dalil
tahksis, taqyid
atau semisalnya yang menyelisihi hukum, supaya dia tidak berhukum dengan sesuatu yang menyelisihinya. 5. Mengetahui kaedah bahasa dan ushul fiqih yang berhubungan dengan penunjukan lafazd-lafazd seperti
‘am
dan
khas,

mutlak
dan
muqayyad, mujmal
dan
mubayyan
dan semisalnya. Supaya dia berhukum sesuai dengan cakupan penunjukan tersebut. 6. Memiliki kemampuan yang memungkinkan dirinya melakukan
istinbath
hukum-hukum dari dalil-dalilnya. (al-Utsaimin, 1424: 87-88)
B. Penegasan Istilah
Skripsi ini berjudul “Analisis Fatwa Pondok Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) Bangil Mengenai Kehalalan Mengkonsumsi Daging Anjing : Perspektif Hukum Islam.” Supaya tidak terjadi kesalah-pahaman dalam menilai skripsi yang akan penyusun tulis, maka menjadi sangat mendesak untuk penyusun jabarkan makna judul skripsi tersebut. Analisis, berasal dari akar kata analisa; peneyelidikan sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan dsb) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dsb (Poerwadarwinta, 1976:39-40) Fatwa, pelajaran baik; petuah, nasehat ulama, nasehat orang bijak (Novia, tanpa tahun terbit:115) Pondok, tempat yang dibangun di tengah sawah atau ladang yang 6


digunakan untuk istirahat dan sifatnya hanya sementara. (Novia, tanpa tahun terbit: 357) Pesantren, sekolah atau asrama tempat para santri mengaji ilmu agama. (Novia, tanpa tahun terbit: 347) Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Ajarannya berdasarkan hadits dan al-Qur’an. (Novia, tanpa tahun terbit: 204) Persis Bangil, singkatan dari persatuan Islam Bangil yaitu gerakan Islam modern yang didirikan atas prakarsa KH. Zamzam dari Palembang tanggal 17 September 1923 dan menjadi terkenal setelah A. Hassan, Muhammad Natsir, dan Isa Anshari menjadi tulang punggung pergerakannya (Shadily, 1984:V:2686). Pesantern tersebut berada di daerah Bangil kabupaten Pasuruan yang secara hirarki tidak ada hubungannya dengan organisasi Persis, tetapi inspirasi pendiriannya tidak dapat dipisahkan dengan Persis (Persis Bangil, 1972: 3) Kehalalan, berasal dari kata “halal” dengan arti, tidak dilarang oleh hukum (Islam); diizinkan menurut syarak. Adapun menghalalkan memiliki arti, menyatakan halal; merelakan; mengijinkan (Novia, tanpa tahun terbit: 167) Mengkonsumsi, dari kata konsumsi; pemakaian (barang-barang hasil industri, bahan makanan dsb) (Poerwadarwinta, 1976: 521) Daging, bagian badan di dalam kulit, pembungkus tulang (Novia, 7


tanpa tahun terbit: 82) Anjing, binatang yang biasa dipakai untuk berburu, menjaga rumah dsb (Poerwadarwinta, 1976: 48) Perspektif, sudut pandang: pandangan (Tim Penyusun Kamus, 1989: 675) Hukum, undang undang, peraturan; patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa alam yang tertentu (Novia, tanpa tahun terbit: 185) Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Ajarannya berdasarkan hadits dan al-Qur’an (Novia, tanpa tahun terbit: 204) Jadi yang dimaksud dengan judul skripsi di atas ialah, suatu penyelidikan mengenai sebab-sebab kehalalan mengkonsumsi daging anjing menurut pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil dan bagaimana duduk perkaranya menurut perspektif hukum Islam.
C. Batasan Masalah
Analisa penyusun dalam mengungkap status hukum Islam terhadap pengkonsumsian daging anjing oleh fatwa pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil dalam hal ini terbatas pada:

1.

Penyelidikan terhadap fatwa pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil mengenai kehalalan mengkonsumsi daging anjing. 2.

Mendudukkan perkara mengenai status hukum mengkonsumsi 8


daging anjing perspektif hukum Islam.
D. Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan alur penyusunan skripsi ini, maka penyusun mencoba mengarahkannya dengan mengacu pada dua pertanyaan dasar di bawah ini; 1.

Apa dasar hukum fatwa Pondok Pesantren Persatuan Islam (persis) Bangil menghalalkan pengkonsumsian daging anjing? 2.

Bagaimana hukum mengkonsumsi daging anjing perspektif hukum Islam?
E. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penyusun mempunyai beberapa tujuan, diantaranya;

1. Mengungkap dasar hukum fatwa pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil dalam upaya menghalalkan pengkonsumsian daging anjing. 2. Mengungkap bagaimana hukum mengkonsumsi daging anjing perspektif hukum Islam.
F. Manfaat Penelitian 9


Manfaat dari penelitian ini adalah; 1.

Untuk menambah khazanah keilmuan terutama dalam bidang ilmu hukum Islam. 2.

Kegunaan secara praktis adalah untuk memahamkan masyarakat bahwa perbedaan dalam wilayah fiqih merupakan hal lumrah. Dengan demikian, pihak-pihak yang berbeda dapat memahaminya sebagai sesuatu yang wajar.
G. Kajian Pustaka
Kurang memahami substansi problem yang menjadi obyek pembahasan juga menjadi salah satu kekurang-tajaman pisau analisis untuk mengerat paradigma pihak lain yang menjadi lawan doktrinnya. Allah swt berfirman:
$
y
ϑ
¯
Ρ
Î
)

t
Π
§

y
m

ã
Ν
à
6
ø

n
=
t
æ

s
π
t
G
ø
Š
y
ϑ
ø
9
$
#

t
Π
¤
$!
$
#
u
ρ

z
Ν
ó
s
s
9
u
ρ

Í

ƒ
Ì

Ψ
Ï

ø
9
$
#

!
$
t
Β
u
ρ

¨

Ï
δ
é
&


Ï
µ
Î
/

Î

ö

t
ó
Ï
9

«
!
$
#

(

Hanyalah Alloh mengharamkan atas kalian bangakai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan dengan nama Allah.
(QS. Al Baqarah [02]: 173) Abu Ibarahim Muhammad Ali setelah membawakan ayat di atas memaparkan, kalau kita meneliti lebih lanjut ternyata ada hal lain yang diharamkan selain empat hal tersebut. Baik dalam al-Qur’an atau hadits-hadits yang shahih; semisal
khamr, judi,
binatang buas, burung yang 10


bercakar dan lainnya (Muhammad, 2007: 40) Padahal
,
sejauh yang penulis amati dari berbagai literatur primordial A. Hassan dan puteranya Abdulqadir, mereka hanya menggunakan ayat tersebut sebagai batasan Allah terhadap jumlah
binatang
yang diharamkan, dan bukan yang lainnya; seperti khamr dan judi. Karena masalah khamr dan judi memiliki terminal analisa yang berbeda. Selebihnya, ayat tersebut bukan satu-satunya argumentasi yang digunakan oleh A. Hassan dan puteranya Abdulqadir ketika membatasi jumlah yang Allah swt. haramkan dalam masalah binatang, melainkan ada beberapa ayat-ayat al-Qur’an
1
dan hadits-hadits
2
primordial yang menjadi acuan argumentasinya. Asy - Syaukani dalam tafsirannya terhadap QS. Al An’am [06] : 145 mengatakan: Allah memerintahkan nabi-Nya untuk mengumumkan kepada manusia bahwa tidak ada yang diharamkan selain empat perkara yang disebutkan, ini menunjukkan bahwa hal yang diharamkan terbatas hanya empat saja seandainya surat ini tidak turun di Makkah (akan tetapi surat ini turun di Makkah), kemudian turunlah setelah itu surat Al Maidah di Madinah dan ditambah lagi keharaman yang lain seperti hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpukul benda keras, hewan yang mati terjatuh, dan hewan yang mati ditanduk hewan lain, dan telah sah dari nabi saw. mengenai keharaman setiap binatang buas yang bertaring, burung yang bercakar tajam, keledai jinak, anjing dan semisalnya (Asy - Syaukani, 1413: 250-251) Abdurrahman bin Nashir As-sa’di mengatakan: Firman Allah swt. ketika mengungkapkan
illat
(diharamkan) nya bangkai, darah dan daging babi atau yang lainnya adalah hanya persoalan “kotor.” Dan ini memang merupakan sifat menyeluruh bagi setiap yang diharamkan. Maka, setiap yang diharamkan itu adalah kotor. Ia merupakan

1
Diantaranya; QS. Al Baqarah [02] : 29, QS. Al Baqarah [02] : 173, QS. An Nahl [16] : 115 dan QS. Al An ‘am [06] : 145.
2
Diantaranya hadits riwayat Imam Al Bazzar dalam buku Soal-Jawab Jilid 2 Hlm. 674. 11


perkara kotor yang Allah haramkan bagi hamba-Nya (As - Sa’di, 1428: I: 427) Jika dilihat dari uraian di atas, maka ada kontribusi yang perlu penulis tuangkan. Di antaranya seperti; bagaimana sesungguhnya A. Hassan dan putera beliau memahami ayat-ayat yang bersifat membatas jumlah binatang yang Allah haramkan? Sehingga dengan demikian, penyusunan skripsi ini menjadi relevan untuk diteliti lebih lanjut.
H. Kerangka Teoritis
1. Ketika Allah swt. membatasi jumlah binatang yang diharamkan, maka Rasulullah saw. tidak mungkin berani menambah jumlah batasan tersebut. Dalam hal ini, A. Hassan pada salah satu bukunya berkata; Adapun binatang bersiung, burung penyambar, keledai negeri dan lain-lain yang datang di sebahagian riwayat-riwayat mengatakan nabi saw. haramkan itu jika dia kata barang-barang itu pun haram, berarti bahwa firman Allah yang berbunyi, ”Tidak ada yang haram melainkan empat”
3
itu dusta. Tidak bisa jadi Allah berdusta dan tidak bisa jadi Rasulullah berani mengharamkan beberapa benda sesudah Allah berkata tidak ada yang haram melainkan empat.” (A. Hassan, 1991: 711) 2. Ada lima langkah dalam menafsirkan al-Qur’an menurut Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Lima langkah tersebut adalah; a. Kembali kepada
kalamullah
, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Karena Dialah yang telah menurunkannya dan (tentu) Dia lebih mengetahui tentang apa yang Ia kehendaki dengannya.

3
QS. Al Baqarah [2] : 173, QS. Al An’am [6] : 145 dan QS. An Nahl [15] : 115 12


b.

Kembali kepada sabda Rasulullah saw. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah. Karena Rasulullah saw. penerima (wahyu) dari Allah swt, dan beliaulah manusia yang lebih mengetahui tujuan Allah swt. dengan kalam-Nya. c.

Kembali pada perkataan para sahabat RA. terutama kepada di antara mereka yang memiliki pengetahuan dan memiliki perhatian terhadap tafsir. Karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan pada masa mereka. Serta mereka adalah manusia paling jujur setelah para nabi dalam mencari kebenaran. Mereka lebih selamat hawa nafsunya dan lebih bersih dari perbedaan-perbedaan yang melingkup antara seseorang dengan petunjuk ke arah kebenaran. d.

Kembali kepada perkataan para tabi’in yang memfokuskan dirinya mengambil tafsir pada para sahabat RA. Karena para tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para sahabat dan lebih selamat (dari) hawa nafsu daripada generasi setelah mereka. Pada masa mereka, bahasa Arab tidak begitu banyak mengalami perobahan. Oleh sebab itu, mereka lebih dekat ke arah kebenaran dalam memahami al-Qur’an daripada generasi setelahnya. e.

Kembali kepada kandungan kalimat, baik itu dari sudut makna
syar’i
atau bahasa, tergantung pada konteksnya. (Al-Utsaimin, 1422: 25-27) 13


I. Metode Penelitian 1.

Jenis dan tipe penelitian
Untuk memperoleh keterangan dalam penyusunan skripsi ini, maka diperlukan adanya pemakaian metode penulisan. Di antara jenis dan tipe penelitian yang ada, penulis hanya menggunakan jenis penelitian studi pustaka. Studi yaitu; kajian, telaah, penelitian, penyelidikan ilmiah (Tim Penyusun Kamus, 1989: 860). Pustaka ; kitab, buku (Tim Penyusun Kamus, 1989: 713) Jadi yang dimaksud dengan studi pustaka di sini ialah, mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan proses penelitian ilmiah dengan merujuk pada buku atau kitab.
2.

Pendekatan
Metode pendekatan yang penyusun gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah; metode pendekatan
eksplanasi
. Yaitu mencoba berusaha menjawab pertanyaan “mengapa” atau mencari sebab akibat yang ada di antara fenomena-fenomena yang akan penyusun teliti.
3.

Teknik pengumpulan data
Dalam rangka mengumpulkan data-data yang akan penyusun gunakan dalam proses pembahasan skripsi ini, penulis melakukan studi literatur dari berbagai sumber tertulis.
14


4. Sumber data
a.

Data primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber utama. Yaitu berbentuk tulisan-tulisan yang diakui keabsahannya oleh pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil. Dalam hal ini, para tokoh pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangillah yang memiliki otoritas legal dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya oleh pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil. b.

Sumber data sekunder Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dengan membaca buku literatur-literatur, majalah-majalah, makalah-makalah yang berhubungan dengan masalah yang berusaha penyusun analisa. Baik sumber-sumber tadi berupa tulisan-tulisan berbahasa Arab atau berbahasa Indonesia.
J. Sistematika Laporan Penelitian
Untuk memahami dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah tujuan pembahasan dan penelitian skripsi ini, maka secara garis besar dapat digambarkan sistematika skripsi ini sebagai berikut: 15


BAB I : PENDAHULUAN
Yang terdiri dari latar belakang masalah, penegasan istilah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian.
BAB II : LANDASAN TEORI
Berusaha menjelaskan permasalahan yang akan penulis teliti secara ringkas.
BAB III : PROFIL ORGANISASI
Mencoba menerangkan sejarah berdirinya pondok pesantren persatuan Islam (persis) Bangil, dan tokoh-tokoh persis Bangil serta pemikirannya mengenai hukum mengkonsumsi daging anjing.
BAB IV : ANALISIS MASALAH HUKUM MENGKONSUMSI DAGING ANJING PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Berisi uraian tentang data khusus berkaitan dengan analisis permasalahan dan pemecahan masalah yang telah diuraikan pada bab terdahulu. Hal ini dimaksudkan agar proses penulisan skripsi memperoleh hasil yang maksimal.
16


BAB V : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis kemudian diberikan saran-saran yang dianggap perlu bagi obyek penelitian lebih lanjut. REVISI YES!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar